Jumat, 11 Mei 2012

Hentikan Perusakan Desa dari Kepentingan Politik Kekuasaan

Otonomi yang secara gencar disuarakan oleh pemerintah, dikumandangkan agar dapat lebih mengangkat sendi-sendi kehidupan masyarakat di pedesaan, hingga saat ini ternyata belum dapat terealisasi. Hak masyarakat untuk mengelola, mengolah dan memberdayakan potensi wilayahnya belum juga diperoleh. Seharusnya pemerintah mau memberikan keleluasaan pada masyarakat pedesaan, untuk memanajemen sumber daya alamnya sendiri, meskipun hal ini tidak bisa lepas dari pengawasan pemerintah daerah.
Selama ini desa bukan hanya obyek yang tidak diperhatikan betul perkembangannya. Kalau ada perhatian kepada pemerintahan desa, hal tersebut baru bisa dikatakan sebagai obyek, misalnya bila ada pengucuran bantuan, masyarakat hanya di posisikan sebagai penerima tanpa pernah diajak untuk berpikir apakah bantuan yang diterima itu akan bermanfaat atau tidak Bantuan desa yang dulu pernah ada, sebenarnya sangat penting, karena desa juga tidak bisa dibiarkan berkembang sendiri. Karena tidak semua desa memiliki potensi yang sama ada yang relatif sumber daya alamnya bagus, pertaniannya bagus, tetapi ada juga yang tertinggal. Ini yang seharusnya semua diperhatikan pemerintah, minimal penyediaan infrastruktur di tingkat desa. Misalnya fasilitas jalan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan juga seharusnya tetap dibantu pemerintah.
Memimpin sebuah desa tidak diperlukan basic pendidikan yang tinggi. Kecakapan dan kemampuan memimpin saja sudah cukup. Aparat desa harus mampu menempatkan diri sebagai seorang pamomong bagi masyarakatnya, tidak berdiri di satu pihak saja. Bahkan seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama, sah-sah saja untuk menjadi Kepala Desa dan juga perangkat desa lainnya, bila mampu mengemban jabatan tersebut.
Harusnya ada bekal-bekal pelatihan yang diberikan kepada mereka. Walaupun diberi keleluasaan menentukan arah pembangunan desanya, namun pemerintah tidak boleh membiarkan desa itu berdiri sendiri dan dibiarkan tetapi bagaimana pemerintah kabupaten kota memberikan upayanya dibantu pemerintah propinsi untuk memberi perhatian kepada desa sampai mereka bisa mengelola potensinya sendiri karena hal ini selanjutnya untuk kemakmuran masyarakat desa sendiri
Membangun desa memang bukan pekerjaan mudah, karena roh yang dimiliki sebuah desa jangan sampai hilang dan harus dipertahankan. Karena pengembangan desa tidak hanya sebuah jenjang pemerintahan semata, tetapi merupakan sekelompok kegiatan masyarakat yang unik untuk berusaha mengatur diri sendiri dengan perhatian dan pengawasan dari pemerintah daerah.
.
Desa, strategis yang bernasib tragis
Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat. Hal itu menyebabkan desa memiliki arti sangat strategis sebagai basis penyelenggaraan pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik rakyat lokal. Sejak masa penjajahan Hindia Belanda sekalipun, pemerintah kolonial telah menyadari peran strategis desa dalam konstelasi ketatanegaraan pada masa itu.
Pada jaman penjajahan Belanda, dengan dikeluarkannya Wet Houddende Decentralisatie in Nederlandsch Indie pada tanggal 23 Juli 1903, yang sering disingkat dengan Decentralisatie Wet 1903. Berdasarkan pasal 128 Indische Staatsregeling (IS), desa diberi hak untuk mengatur urusan rumah tangga mereka sendiri, namun dalam pelaksanaannya pemberian otonomi ini cenderung dipakai pihak kolonial untuk mempertahankan posisinya.
Indlandsche Gemeente Ordonanntie (IGO) Stbl. 1906 No. 83, salah satu aturan hukum pada masa kolonial, memberikan ruang demokrasi yang luas bagi desa untuk menjalankan pemerintahan sendiri (self governing community) dalam bentuk pengakuan hak-hak kultural desa, sistem pemilihan Kepala Desa, desentralisasi pemerintahan pada level desa, parlemen desa dan sebagainya.
Sementara itu, dibawah pemerintahan Jepang, desa kembali bergerak pada pola pengaturan dan pengendalian pemerintah pusat pada waktu itu.
Di era Orde Lama, desa juga diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, baik dalam UU No 22 Tahun 1948 tentang pemerintahan daerah, UU No 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, maupun dalam UU No 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah serta UU No 19 tahun 1965 tentang Desapraja.
Di Era Orde Baru, berdasarkan UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah jo. UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, otonomi daerah dijalankan berdasarkan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan dominasi asas dekosentrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UU ini, kepala desa dijadikan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, sehingga kekuatan desa dihilangkan.
Di Era Orde Reformasi, Proses pembelajaran ulang demokrasi bagi desa melalui UU No. 22/1999, yang dinilai menghidupkan kembali ruh demokrasi di desa, ternyata tidak dapat berlangsung lama. Semangat demokrasi dalam UU No. 22/1999 yang menghidupkan parlemen desa, telah dipasung oleh UU No. 32/2004. Desa kembali dimaknai sekedar sebagai saluran administratif kewenangan negara lewat kabupaten/kota, tanpa memiliki daya tawar terhadap berbagai kebijakan negara kecuali desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan sarana serta sumber daya manusia karena Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. (pasal 207 UU  No. 32/2004)
Kondisi lemahnya desa diperparah dengan adanya pembedaan Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya dan memakin bertambah parah dengan Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. ( ayat (2) & (3) pasal 202 UU  No. 32/2004 )
.
Politik Kekuasaan Pemerintah
Politik kekuasaan pemerintah dalam “pengendalian desa” antara lain dengan pengisian sekdes oleh PNS, yang dalam PP 72 tahun 2005 Pasal 25 ayat (2); menyebutkan Pengangkatan Sekretaris Desa merupakan wewenang Sekda atas nama Bupati. Ini mengandung arti bahwa kepala desa semakin dikebiri haknya sebagai seorang kepala wilayah.
Sikap diskriminasi antara Sekretaris desa dan perangat desa lain ini, maka timbul pertanyaan bagaimana menciptakan prinsip kesetaraan pdndapatan dalam pemerintahan desa, khususnya di desa-desa yang tidak mempunyai tanah bengkok maupun tanah ganjaran desa.
Dengan timbulnya kesenjangan serta ketidaksetaraan pendapatan antara Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya, bagaimana mengharapkan pelayanan publik terhadap masyarakat desa yang dilakukan pemerintah desa dapat berjalan dengan baik. Kesenjangan serta ketidaksetaraan pendapatan tersebut, pada akhirnya akan berdampak negatif pada kerja dan kinerja aparat pemerintah desa. Konflik akan sangat mungkin terjadi antar Sekretaris Desa dengan Perangkat Desa lainnya.
Apabila kebijakan ini memang benar hasil pemikiran yang tidak coba coba maka dipastikan politik kekuasaan dan perusakan tatanan pemerintah desa sedang dilakukan oleh elite politik yang sedang berkuasa.
.
Untuk UU Desa,  jelas  Politisi di DPR Pembohong, Pemerintah  Penipu
Gerakan persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa Nusantara yang dimulai dari sarasehan kepala desa se Jawa Bali di Semarang Jawa Tengah 28 -29 Januari 2006 sampai dengan aksi ke jakarta berturut turut pada :
Dalam perjalanan PARADE NUSANTARA ( Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa Nusantara ), dimana saya saat itu adalah sekretaris eksekutifnya,  melakukan beberapa kali aksi yaitu :
  1. 8 - 9 februari 2006, konsultasi dan dengar pendapat diikuti 150 orang perwakilan
  2. 8 Maret 2006, Aksi penyampaian tuntutan diikuti kurang lebih 7.500 Kepala Desa, menghasilkan dukungan fraksi-fraksi di DPR-RI secara tertulis (FPKS, FPDIP, FPGolkar, FPKB) untuk amandemen UU 32 Tahun 2004 pada tahun 2007
  3. 3 April 2006, Aksi penyampaian tuntutan yang diikuti 25.000 Kepala Desa.dan Perangkat Desa, melakukan aksi ke depan gedung Mahkamah Agung untuk mengetahui keputusan MA tentang Uji Materi yang diajukan.
Melihat kenyataan sampai hari ini ternyata sekdes benar benar di PNS kan dan UU khusus tentang desa juga belum disiapkan, maka jelaslah bahwa memang tidak ada etikat baik politisi dan birokrasi untuk memberdayaakan desa dan mengembalikan etitas desa sebenarnya.
Dalam kehadiran saya dalam forum ini atas undangan teman teman PPDI ( Persatuan Perangkat Desa Indonesia ) maka saya hanya bisa menyarankan perjuangan harus terus dilanjutkan. Mahkamah kontitusi adalah target antara yang harus dikejar, mengingat mimpi UU Desa dengan mengakomudir semangat PPDI saya secara pribadi tidak begitu yakin dapat dilakukan.
.
Mengapa Mahkamah Konstitusi ?
Mahkamah Konstitusi adalah tempat menguji materi UU yang bertentangan dengan UUD, dan pasal 202 UU  No. 32/2004 tentang pembedaan sekretaris desa dengan perangakat desa lain dan sekretaris desa diisi PNS jelas merupakan pasal yang bertentangan dengan UUD yaitu Pasal 28D ayat  (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, dan ayat (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pasal 202 UU  No. 32/2004 juga bertentangan dengan   UUD Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
.
Penutup
Saudaraku, kerabatku perangkat desa, anda berhak untuk menjadi PNS, akan tetapi sungguh sebuah kebahagiaan dan kebanggaan yang luar biasa buat saya bila yang ada dalam semangat kita adalah memperbaiki pemerintahan ini dimulai dari desa.
Jangan jadikan tuntutan menjadi PNS tujuan akhir perjuangan, tetapi jadikan itu tujuan antara untuk memperbaiki Indonesia.

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA


POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
A. ANALISA STRUKTUR POLITIK DESA DAN KELURAHAN
Struktur politik desa dan kelurahan merupakan struktur politik paling rendah dalam bangunan politik nasional. Meskipun demikian, struktur politik desa dan kelurahan mempunyai peran penting dalam bangunan struktur politik nasional. Sebab, disitulah kehidupan politik riil ada dengan segala dinamikanya. Berikut ini akan dianalisa struktur politik desa dan kelurahan.
Struktur Politik Desa
Perkataan desa hanya dikenal di pulau Jawa. Ada beberapa penyebutan lain yang merujuk pada pengertian desa, yaitu dusun, kuta, gampong, nagari dan seterusnya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993), desa adalah (1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan; kampung; dusun; (2) udik atau dusun; (3) tempat; tanah; daerah. Pengertian ini berangkat dari kontras pemahaman mengenai kota.1
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 pasal 1, yang disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Pasal 94, Bab XI, UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD), yang secara bersama-sama menyelenggarakan pemerintahan di desa. Pemerintah Desa sebagai eksekutif, yakni menjalankan amanat masyarakat desa yang tertuang dalam Peraturan Desa. Pemerintah Desa dipimpin oleh kepala desa yang telah dipilih secara langsung warga masyarakat desa untuk masa jabatan 8 tahun. Dalam menjalankan roda pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh perangakat desa yang berstatus pegawai negeri, seperti sekretaris desa, kepala-kepala urusan dan kepala lingkungan.
Badan Perwakilan Desa adalah wakil-wakil masyarakat desa yang berada di tiap rukun warga. BPD menjalankan tugas sebagai badan legislatif. Dalam Pedoman Umum Pengaturan Desa, Kepmendagri disebutkan bahwa parlemen desa (BPD) beranggotakan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. Mereka adalah pemuka agama, adat, orsospol, golongan profesi dan unsur pemuka masyarakat lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa BPD ini berhak menyatakan diri sebagai wakil rakyat di daerah rukun ketetanggaannya.
Gambaran seperti ini jelas akan memunculkan masalah yakni ketika ada perbedaan pendapat yang tak bisa dipecahkan tentang suatu masalah. Kepala desa bisa mengatasnamakan rakyat, karena mereka dipilih langsung oleh rakyat, seperti juga BPD. Hal itu dikarenakan angota BPD merupakan wakil rakyat yang dipilih. Dan masalah seperti ini akan diperumit lagi dengan adanya pasal 103 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa BPD bisa “memecat” kepala desa. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan kepala desa sebetulnya belum sepenuhnya otonom.
Struktur Politik Kelurahan
Kalau pengertian desa merujuk pada suatu wilayah di pedalaman/luar kota, maka pengertian kelurahan lebih pada wilayah perkotan. Dalam UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Propinsi Daerah Ibukota Negara Republik Indonesia, Bab V, pasal 24 dan pasal 27 disebutkan bahwa pemerintah kelurahan terdiri dari Pemerintahan Kelurahan dan Dewan Kelurahan.
Pemerintahan Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus pegawai negeri sebagai eksekutif pemerintahan. Dalam tugas sehariu-harinya, lurah dibantu perangkat kelurahan yang juga berstatus pegawai negeri. Lurah diangkat oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini Gubernur. Kedudukan lurah cukup kuat. Ia tak bertanggung-jawab kepada Dewan Kelurahan, tapi kepada atasannya, yaitu camat, bupati/walikota dan gubernur.
Sementara itu, Dewan Kelurahan merupakan badan legislatif. Keanggotaannya adalah wakil-wakil masyarakat yang berada di tiap rukun warga. Fungsi Dewan Kelurahan adalah membantu lurah dalam menampung aspirasi warga, memberikan usul dan saran kepada lurah, menjelaskan kebijakan pemerintah, membantu dalam hal pemberdayaan masyarakat, termasuk juga mengajukan anggota dewan kota/kabupaten.2
Kedudukan Dewan Kelurahan dan Pemerintahan Kelurahan yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, lurah sebagai pegawai negeri, kedudukannya sangat kuat. Lurah bisa saja mengabaikan begitu saja saran atau usul Dewan Kelurahan terhadap suatu masalah yang kiranya akan merugikan kepentingannya. Ia tidak takut untuk “dipecat” karena ia berpedoman pada kepatuhan sebagai pegawai negeri yang harus tunduk kepada atasannya. Selain itu juga, Dewan Kelurahan tidak mempunyai kekuatan politik apa-apa seandainya saran atau usul kurang/tidak diperehatikan lurah. Dengan demikian, lurah sebetulnya berkedudukan sebagai perpanjangan tangan pemerintah di atasnya, ia tak harus tunduk pada dewan Kelurahan.
Sementara itu, tumbuh kesan bahwa keberadaan Dewan Kelurahan hanyalah sebagai “tempelan” saja. Dewan Kelurahan ada, namun tak mempunyai kekuatan politik dalm ikut menentukan jalannya pemerintahan kelurahan. Disisi lain, Dewan Kelurahan juga lemah kedudukannya karena tidak bisa menentukan anggaran pembangunan. Masalah anggaran sepenuhnya berada di tangan lurah. Pengawasan terhadap lurah dalam maslah anggaran juga tak bisa dilakukan. Sebab lurah hanya bisa bertanggung jawab kepada atasannya, bukan kepada Dewan Kelurahan. Dengan demikian, hadirnya Dewan Kelurahan yang dimaksudkan untuk kemandirian dan partisipasi masyarakat di era otonomi ini belum tercapai secara maksimal.
B. ANALISA PERANAN ELITE FORMAL DAN INFORMAL DESA
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993) kata elite mempunyai dua pengertian, yaitu (1) orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok; (2) kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi. Kelompok-kelompok elit ini sifatnya sangat heterogen.3 Mereka terdapat dalam komunitas agama, politik, ekonomi, adat, dan sebagainya. Kedudukan mereka sebagai ekit bisa berubah sesuai dengan situasi dan dengan siapa mereka mengadakan interaksi. Pola interaksi, akomodasi, konflik dan lain sebagainya.4
Kelompok elit dalam masyarakat berperan menjalankan semua fungsi politik , memonopoli kekuasaan dan menarik keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan yang dipegangnya.5 Mereka ini ada yang berstatus elit formal maupun elit informal. Dalam konteks pedesaan, elit formal adalah para elit yang mempunyai kedudukan resmi dalam struktur pemerintahan desa, seperti kepala desa, kepala hansip, ketua RW dan ketua RT. Sedangkan elite informal adalah mereka yang mempunyai pengaruh yang diakui sebagai pemimpin oleh sebuah kelompok tertentu maupun oleh masyarakat desa seluruhnya meskipun tidak menduduki posisi resmi dalam pemerintahan desa.6 Mereka itu bisa kyai, guru, militer, orang kaya dan sebagainya. Dalam tulisan ini, penulis hanya akan menganalisis peranan kepala desa sebagai elit formal dan kyai sebagai elit informal di pedesaan sebagai contoh.
Peranan Kepala Desa
Peranan kepala desa dalam struktur masyarakat desa sangat besar. Hal ini karena kebanyakan desa-desa di Indonesia masyarakatnya masih bercorak paternalistik. Oleh karena itu apa yang dianggap baik dan benar, yang dianjurkan, yang dikatakan dan dilakukan oleh kepala desa merupakan pedoman dan contih langsung bagi “anak buahnya” untuk melakukan tindakan yang sama.7
Seorang kepala desa, mempunyai kekuasaan dan wewenang yang besar untuk mengatur rakyatnya. Kepala desa adalah patron bagi masyarakat desa. Agar kepala desa mampu mempertahankan kekuasaan dan wewenangnya, ia selau mencari kekuatan legitimasi kedudukannya dengan cara mengaitkan dirinya secara geneologis dengan pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam kasus pengaitan geneologis ini juga dilakukan dengan nenek moyangnya yang pernah menjadi kepala desa dahulu.8
Pengaitan secara geneologis ini dimaksudkan untuk memperkuat perannya dalam memegang kekuasaan dan wewenang. Sebab tanpa legitimasi tersebut, maka perannya sebagai pemimpin tertinggi desa akan hilang.
Selain dengan mengaitkan secara geneologis, kepala desa sejak tahun 1950-an juga memanfaatkan berbagai kekuatan sosial politik , seperti partai plitik. Semasa Orde Baru, demi tegaknya legitimasi kedudukannya, para kepala desa mengidentifikasikan dirinya dengan Golongan Karya (Golkar). Oleh karena itu, tak aneh bila Golkar memperoleh kemenangan di hampir seluruh desa di Indonesia. Mereka mempunyai target kemenangan bagi Golkar di desanya.9 Ini nampaknya sebagai imbalan atas keterkaitannya dengan Golkar yang telah memperkuat kedudukannya dalam kekuasaan.
Dalam proses pembangunan desa, peran kepala desa juga sangat besar. Menurut pengamatan Hofsteede (1992) terhadap peran kepala desa di 4 desa di Jawa Barat membuktikan hal itu. Para kepala desa yang diteliti menunjukkan bahwa mereka sebagai pengambil prakarsa dalam suatu proyek pembangunan. Mereka mendiskusikan dan seterusnya merapatkan dalam rapat desa untuk mengambil keputusan pelaksanaan suatu proyek.
Ada beberapa faktor yang menyebabakan peran kepala desa demikian besar, yaitu pertama, kepala desa dokebanyakan desa mempunyai wewenang yang betul-betul nyata. Mereka bagaikan raja-raja kecil di desanya. Hal itu ditambah sikap masyarakat yang bersifat patenalistik.
Kedua, kepala desa mempunyai posisi yang kuat sebagai wakil pemerintah di desa. Hal ini karena bupatilah yang membuat keputusan akhir dan memberi surat pengangkatannya, meskipun kepala desa dipilih oleh rakyat secara langsung.10
Peranan Kyai
Kyai merupakan sebutan yang diberikan masyarakat terhadap seseorang yang menguasai dan mempraktekkan ajaran agama Islam secara ketat. Kyai sebagai tokoh informal juga mempunyai peran yang sangat besar.
Peran utama kyai adalah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam memberikan fatwa agama tentang masalah keyakinan dan praktik keislaman masyarakat. Otoritas ini diperkuat dengan adanya masyarakat yang paternalistik dan hubungan antarkyai.11 Di desa-desa Jawa, para kyai mempunyai hubungan kuat dengan organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini merupakan sarana mempromosikan kyai dalam kepemimpinan lokal bahkan nasional.
Selain itu, hubungan antarkayai yang biasanya tergabung dalam organisasi NU, para kyai dalam usaha menambah klaim kekuasaan dan wewenangnya adalah jamaah Islam. Semakin besar jumlah jamaah yang berada di belakangnya, maka semakin berpengaruhlah kyai tersebut.12
C. ANALISA POLITIK PERTANIAN DI DESA
Politik pertanian merupakan kebijakan pemerintah untuk memperlancar dan mempercepat laju pembangunan pertanian. Ada dua metode dalam mempelajari politik pertanian,13 yaitu pertama, melalui analisa teknik ekonomi. Melalui teknik ini, kita dapat mempergunakan berbagai teori ekonomi untuk merumuskan politik pertanian, melaksanakan dan menilainya. Alat penilai yang paling sering dipakai dalam hal ini adalah analisis benefit-cost yang mudah dilakukan untuk memulai berbagai proyek-proyek investasi.
Kedua, melalui analisis kelembagaan. Artinya, politik pertanian yang menyangkut kerangka kelembagaan dengan mana alokasi sumber daya terjadi dan diusahakan. Dalam definisi Tinbergen, politik pertanian macam ini termasuk politik pertanian kualitatif. Hal ini dikarenakan menyangkut perubahan lembaga.
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan mempergunakan analisis kelembagaan yang diterapkan terhadap politik beras sebagai salah satu bagian dari politik pertanian. Pemerintah melihat bahwa masalah perberasan merupakan masalah yang sangat vital. Hal ini karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Jika masalah beras ini tak dikelola secara baik, bisa saja hal itu menjadi isu politik yang mampu menggiyahkan sendi kekuasaan pemerintah.
Melihat begitu pentingnya masalah perberasan, maka pemerintah mendirikan Badan Urusan Logistik (BULOG) tahun 1969 yang mempunyai tugas utama melaksanakan politik beras.14 Sasaran utama Bulog adalah mempertahankan harga maksimum dan minimum beras/padi, baik secara langsung melaui pembelian dan penjualan di pasar pedesaan dan pasar bebas maupun melaui kebijakan stok beras.
Setelah mengeluarkan kebijakan mempertahankan harga maksimum dan minimum, pemerintah kemudian meletakkan kebijakan harga penyangga (support price) untuk memberikan perangsang pada petani padi. Hal ini dicapai antara lain dengan apa yang dikenal dengan rumus tani, yaitu satu kilogram pupuk ures dijual pemerintah kepada petani dengan harga yang sama dengan satu kilogram beras. Kebijakan ini ditanggapi positif para petani sehingga pada pertengahan tahun 1972 pemerintah bahkan merasa khawatir akan terjadi kelebihan produksi dan mengusulkan penurunan terget produksi.
Kekhawatiran tersebut di atas ternyata tak terbukti, karena pada tahun yang sama terjadi kegagalan panen akibat kemarau panjang. Meskipun demikian, kebijakan peningkatan produksi beras lebih dikenal dengan Bimas (bimbingan massal) tetap berhasil meningkatkan produksi beras rata-rata 4,7% per tahun dalam Pelita I, walaupun harus diakui tidak sampai pada terjadinya swasembada beras.
Tidak tercapainya swasembada beras pada akhir Pelita I menyebabkan pemerintah meninjau kembali kebijakan berasnya. Saat itu pemerintah mengimpor beras (hampir 30% dari seluruh beras yang dipasarkan di pasaran dunia). Keadaan ini membuat pemerintah mengadakan perubahan kebijakn pada Pelita II. Sasrannya bukan lagi pada swasembada beras, akan tetapi swasembada pangan, yaitu dengan terutama berusaha mencapai terget pemenuhan kalori dan protein yang dapat dipenuhi dari berbagai bahan pangan seperti jagung, ketela, sagu dan tanaman kacang-kacangan. Disini titik tekan kebijakan pemerintah bukan lagi pada beras, tapi bahan pangan pokok secara keseluruhan.
Kebijakan tersebut didasrkan pada realitas bahwa sebagian penduduk Indonesia makanan pokoknya ada yang non beras. Selain itun juga adanya potensi pangan yang besar di luar beras.15 Contohnya, Irian Jaya dan Maluku yang penduduk aslinya menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Daerah-daerah ini memang sangat cocok untuk tanaman sagu. Jadi dsini yang penting adalah pemenuhan kalori yang dapat dipenuhi oleh makanan pokok selain beras. Masalahnya adalah di beberapa daerah yang makanan pokoknya non beras malah sulit memperoleh bahan makanan tersebut dibanding dengan beras. Selain itu sudah tercipta imej dalam masyarakat Indonesia bahwa makan beras identik dengan kemajuan. Masyarakat yang makanan pokoknya non beras dianggap sebagai masyarakat yang ketinggalan.***

FORUM KOMUNIKASI PEMUDA DESA PAOH CONCONG

FKPDPC

Bergerak dibidang pelestarian adat istiadat dan kebudayaan masyarakat adat desa paoh concong. sudah terbentuk pada tahun 2011, oleh seluruh pemuda desa paoh concong.

PENGEMBANGAN WISATA DESA PAOH CONCONG


Pengumuman Lelang Non Eproc
PENGUMUMAN SELEKSI UMUM
Nomor : 01/PAN/BAPPEDA/2012
 
Satuan Kerja
 : 
Badan Perencaan Pembagunan Daerah Kabupaten Ketapang
Tahun Anggaran
 : 
2012
No. Nama Paket HPS Sub Bidang
1. Masterplan Pengembangan Kawasan Wisata Desa Paoh Concong Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang Rp 287.400.000,00 Tata Lingkungan / Perencanaan Urban
2. Masterplan Pengembangan Kawasan Wisata Bukit Batu Daya Kecamatan Simpang Dua Rp 287.400.000,00 Tata Lingkungan / Perencanaan Urban
3. Kajian Strategis Pengembangan Komoditas Karet Sebagai Komoditas Unggulan Daerah Kabupaten Ketapang Rp 290.500.000,00 Tata Lingkungan / Perencanaan Urban
4. Kajian Strategis Pengembangan Kawasan Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) Kabupaten Ketapang Rp 290.500.000,00 Tata Lingkungan / Perencanaan Urban
5. Kajian Strategis Pengembangan Sumber Daya Pesisir dan Laut Kabupaten Ketapang Rp 200.000.000,00 Tata Lingkungan / Perencanaan Urban
6. Masterplan Pengembangan Potensi Unggulan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kabupaten Ketapang Rp 200.000.000,00 Tata Lingkungan / Perencanaan Urban
7. Penyusunan Dokumen Sistem Informasi Geografis (GIS) Baku Lahan Pertanian dan Infrastruktur Rp 350.000.000,00 Tata Lingkungan / Perencanaan Urban
8. Penyusunan Database Kemiskinan Kabupaten Ketapang Rp 200.000.000,00 Tata Lingkungan / Perencanaan Urban
 
Pengambilan Dokumen
Tanggal
 : 
10 April 2012 08:30 s/d 20 April 2012 14:00
Tempat
 : 
Bappeda Kabupaten Ketapang Jl. Jenderal Sudirman No. 15 Telp (0534) 32658
 
Persyaratan
1. Paket Pengadaan ini terbuka untuk Penyedia Konsultansi dengan Kualifikasi Usaha Kecil dan memiliki kemampuan pada bidang/sub.bidang Tata Lingkungan/Perencanaan Urban.
2. Pendaftaran dan pengambilan Dokumen pengadaan dapat diwakilkan dengan membawa surat tugas dari Direktur Utama/Pimpinan Perusahaan/Kepala Cabang dan kartu pengenal.
3. Seseorang dilarang mewakili lebiti dari 1 (Satu) Perusahaan dalam pendaftaran dan pengambilan dokumen kualifikasi.
4. Dokumen Kualifikasi dapat diambil dalam bentuk CD
 
Keterangan Lain
 
TTD
 
Panitia ULP
 
Diumumkan pada tanggal : 10 April 2012 14:04