Selama ini desa bukan hanya obyek yang
tidak diperhatikan betul perkembangannya. Kalau ada perhatian kepada
pemerintahan desa, hal tersebut baru bisa dikatakan sebagai obyek,
misalnya bila ada pengucuran bantuan, masyarakat hanya di posisikan
sebagai penerima tanpa pernah diajak untuk berpikir apakah bantuan yang
diterima itu akan bermanfaat atau tidak Bantuan desa yang dulu pernah
ada, sebenarnya sangat penting, karena desa juga tidak bisa dibiarkan
berkembang sendiri. Karena tidak semua desa memiliki potensi yang sama
ada yang relatif sumber daya alamnya bagus, pertaniannya bagus, tetapi
ada juga yang tertinggal. Ini yang seharusnya semua diperhatikan
pemerintah, minimal penyediaan infrastruktur di tingkat desa. Misalnya
fasilitas jalan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan juga
seharusnya tetap dibantu pemerintah.
Memimpin sebuah desa tidak diperlukan
basic pendidikan yang tinggi. Kecakapan dan kemampuan memimpin saja
sudah cukup. Aparat desa harus mampu menempatkan diri sebagai seorang
pamomong bagi masyarakatnya, tidak berdiri di satu pihak saja. Bahkan
seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama, sah-sah saja
untuk menjadi Kepala Desa dan juga perangkat desa lainnya, bila mampu
mengemban jabatan tersebut.
Harusnya ada bekal-bekal pelatihan yang
diberikan kepada mereka. Walaupun diberi keleluasaan menentukan arah
pembangunan desanya, namun pemerintah tidak boleh membiarkan desa itu
berdiri sendiri dan dibiarkan tetapi bagaimana pemerintah kabupaten kota
memberikan upayanya dibantu pemerintah propinsi untuk memberi perhatian
kepada desa sampai mereka bisa mengelola potensinya sendiri karena hal
ini selanjutnya untuk kemakmuran masyarakat desa sendiri
Membangun desa memang bukan pekerjaan
mudah, karena roh yang dimiliki sebuah desa jangan sampai hilang dan
harus dipertahankan. Karena pengembangan desa tidak hanya sebuah jenjang
pemerintahan semata, tetapi merupakan sekelompok kegiatan masyarakat
yang unik untuk berusaha mengatur diri sendiri dengan perhatian dan
pengawasan dari pemerintah daerah.
.
Desa, strategis yang bernasib tragis
Desa merupakan entitas pemerintahan yang
langsung berhubungan dengan rakyat. Hal itu menyebabkan desa memiliki
arti sangat strategis sebagai basis penyelenggaraan pelayanan publik dan
memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik rakyat lokal. Sejak masa
penjajahan Hindia Belanda sekalipun, pemerintah kolonial telah menyadari
peran strategis desa dalam konstelasi ketatanegaraan pada masa itu.
Pada jaman penjajahan Belanda, dengan
dikeluarkannya Wet Houddende Decentralisatie in Nederlandsch Indie pada
tanggal 23 Juli 1903, yang sering disingkat dengan Decentralisatie Wet
1903. Berdasarkan pasal 128 Indische Staatsregeling (IS), desa diberi
hak untuk mengatur urusan rumah tangga mereka sendiri, namun dalam
pelaksanaannya pemberian otonomi ini cenderung dipakai pihak kolonial
untuk mempertahankan posisinya.
Indlandsche Gemeente Ordonanntie (IGO)
Stbl. 1906 No. 83, salah satu aturan hukum pada masa kolonial,
memberikan ruang demokrasi yang luas bagi desa untuk menjalankan
pemerintahan sendiri (self governing community) dalam bentuk pengakuan
hak-hak kultural desa, sistem pemilihan Kepala Desa, desentralisasi
pemerintahan pada level desa, parlemen desa dan sebagainya.
Sementara itu, dibawah pemerintahan
Jepang, desa kembali bergerak pada pola pengaturan dan pengendalian
pemerintah pusat pada waktu itu.
Di era Orde Lama, desa
juga diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, baik dalam UU No 22 Tahun 1948 tentang
pemerintahan daerah, UU No 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah, maupun dalam UU No 18 tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah serta UU No 19 tahun 1965 tentang
Desapraja.
Di Era Orde Baru, berdasarkan
UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah jo. UU No
5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, otonomi daerah dijalankan
berdasarkan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan
dominasi asas dekosentrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam UU
ini, kepala desa dijadikan sebagai kepanjangan tangan pemerintah,
sehingga kekuatan desa dihilangkan.
Di Era Orde Reformasi, Proses
pembelajaran ulang demokrasi bagi desa melalui UU No. 22/1999, yang
dinilai menghidupkan kembali ruh demokrasi di desa, ternyata tidak dapat
berlangsung lama. Semangat demokrasi dalam UU No. 22/1999 yang
menghidupkan parlemen desa, telah dipasung oleh UU No. 32/2004. Desa
kembali dimaknai sekedar sebagai saluran administratif kewenangan negara
lewat kabupaten/kota, tanpa memiliki daya tawar terhadap berbagai
kebijakan negara kecuali desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas
pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan sarana
serta sumber daya manusia karena Tugas pembantuan dari Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa
disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia. (pasal 207 UU No. 32/2004)
Kondisi lemahnya desa diperparah dengan
adanya pembedaan Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan
perangkat desa lainnya dan memakin bertambah parah dengan Sekretaris
desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. ( ayat
(2) & (3) pasal 202 UU No. 32/2004 )
.
Politik Kekuasaan Pemerintah
Politik kekuasaan pemerintah dalam
“pengendalian desa” antara lain dengan pengisian sekdes oleh PNS, yang
dalam PP 72 tahun 2005 Pasal 25 ayat (2); menyebutkan Pengangkatan
Sekretaris Desa merupakan wewenang Sekda atas nama Bupati. Ini
mengandung arti bahwa kepala desa semakin dikebiri haknya sebagai
seorang kepala wilayah.
Sikap diskriminasi antara Sekretaris desa
dan perangat desa lain ini, maka timbul pertanyaan bagaimana
menciptakan prinsip kesetaraan pdndapatan dalam pemerintahan desa,
khususnya di desa-desa yang tidak mempunyai tanah bengkok maupun tanah
ganjaran desa.
Dengan timbulnya kesenjangan serta
ketidaksetaraan pendapatan antara Sekretaris Desa dan Perangkat Desa
lainnya, bagaimana mengharapkan pelayanan publik terhadap masyarakat
desa yang dilakukan pemerintah desa dapat berjalan dengan baik.
Kesenjangan serta ketidaksetaraan pendapatan tersebut, pada akhirnya
akan berdampak negatif pada kerja dan kinerja aparat pemerintah desa.
Konflik akan sangat mungkin terjadi antar Sekretaris Desa dengan
Perangkat Desa lainnya.
Apabila kebijakan ini memang benar hasil
pemikiran yang tidak coba coba maka dipastikan politik kekuasaan dan
perusakan tatanan pemerintah desa sedang dilakukan oleh elite politik
yang sedang berkuasa.
.
Untuk UU Desa, jelas Politisi di DPR Pembohong, Pemerintah Penipu
Gerakan persatuan Kepala Desa dan
Perangkat Desa Nusantara yang dimulai dari sarasehan kepala desa se Jawa
Bali di Semarang Jawa Tengah 28 -29 Januari 2006 sampai dengan aksi ke
jakarta berturut turut pada :
Dalam perjalanan PARADE NUSANTARA (
Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa Nusantara ), dimana saya saat
itu adalah sekretaris eksekutifnya, melakukan beberapa kali aksi yaitu :
- 8 - 9 februari 2006, konsultasi dan dengar pendapat diikuti 150 orang perwakilan
- 8 Maret 2006, Aksi penyampaian tuntutan diikuti kurang lebih 7.500 Kepala Desa, menghasilkan dukungan fraksi-fraksi di DPR-RI secara tertulis (FPKS, FPDIP, FPGolkar, FPKB) untuk amandemen UU 32 Tahun 2004 pada tahun 2007
- 3 April 2006, Aksi penyampaian tuntutan yang diikuti 25.000 Kepala Desa.dan Perangkat Desa, melakukan aksi ke depan gedung Mahkamah Agung untuk mengetahui keputusan MA tentang Uji Materi yang diajukan.
Melihat kenyataan sampai hari ini
ternyata sekdes benar benar di PNS kan dan UU khusus tentang desa juga
belum disiapkan, maka jelaslah bahwa memang tidak ada etikat baik
politisi dan birokrasi untuk memberdayaakan desa dan mengembalikan
etitas desa sebenarnya.
Dalam kehadiran saya dalam forum ini
atas undangan teman teman PPDI ( Persatuan Perangkat Desa Indonesia )
maka saya hanya bisa menyarankan perjuangan harus terus dilanjutkan.
Mahkamah kontitusi adalah target antara yang harus dikejar, mengingat
mimpi UU Desa dengan mengakomudir semangat PPDI saya secara pribadi
tidak begitu yakin dapat dilakukan.
.
Mengapa Mahkamah Konstitusi ?
Mahkamah Konstitusi adalah tempat menguji
materi UU yang bertentangan dengan UUD, dan pasal 202 UU No. 32/2004
tentang pembedaan sekretaris desa dengan perangakat desa lain dan
sekretaris desa diisi PNS jelas merupakan pasal yang bertentangan dengan
UUD yaitu Pasal 28D ayat (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja,
dan ayat (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
Pasal 202 UU No. 32/2004 juga
bertentangan dengan UUD Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas
atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.
.
Penutup
Saudaraku, kerabatku perangkat desa, anda
berhak untuk menjadi PNS, akan tetapi sungguh sebuah kebahagiaan dan
kebanggaan yang luar biasa buat saya bila yang ada dalam semangat kita
adalah memperbaiki pemerintahan ini dimulai dari desa.
Jangan jadikan tuntutan menjadi PNS tujuan akhir perjuangan, tetapi jadikan itu tujuan antara untuk memperbaiki Indonesia.